Perbedaan Konsep Utilitarianisme Klasik dan Utilitarianisme Bentham


Jeremy Bentham adalah filsuf utilitarianisme pendiri Inggris. Ia lahir di London, menempuh pendidikan di Oxford, dan kemudian memenuhi syarat sebagai pengacara di London. Bentham adalah seorang filsuf empiris di bidang moral dan politik. 

Ia dikenali sebagai orang hebat di masanya maka daripada itu penulis mengambil sebuah langkah kecil dalam suatu bentuk takjub kepada tokoh, dimana penulis berupaya untuk memperlihatkan dan menjelaskan konsep utilitarianisme dalam versi klasik dan versi dari seorang filsuf yang bernama Jeremy Bentham. 

Nah, Pada dasarnya, konsep dasar teori utilitarian secara umum sangat sederhana, yaitu bagaimana memaksimalkan kegunaan suatu tindakan sehingga kita dapat menikmati manfaat, keuntungan, kebahagiaan dan kenikmatan (benefit, advantage,please, good, or happy) dari proses tersebut. Dengan memaksimalkan efisiensi juga diharapkan terjadinya kepedihan, kejahatan, penderitaan atau perasaan yang berujung pada ketidakbahagiaan dapat dicegah.

Proses maksimalisasi utilitas ini kemudian diterapkan secara konkrit pada tindakan-tindakan yang benar-benar terjadi di masyarakat, dan dalam implementasinya konsep utilitarian dievaluasi berdasarkan pertanyaan “Apakah tindakan ini memberi saya utilitas?”

Berangkat dari pertanyaan tersebut, dan dengan menerapkan konsep utilitarianisme, penilaian terhadap suatu tindakan, baik yang dilakukan secara proaktif maupun tidak (tindakan atau kelalaian), fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan/atau peristiwa tertentu, akan didasarkan pada kekuatan dan kegunaannya. Perilaku adalah, fenomena, atau kejadian pada individu yang mengalaminya.

Jadi, dalam konsep utilitarianisme klasik, jika sesuatu memiliki kegunaan yang besar bagi masyarakat luas, maka hal tersebut meningkatkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Hal ini pula yang menjadikan konsep utilitarianisme juga penuh dengan proses perhitungan antara kebahagiaan (pleasure) dan penderitaan (pain).

Sebab jika suatu tindakan, fenomena, atau peristiwa lebih mendatangkan kesenangan dibandingkan penderitaan, maka tindakan, fenomena, atau peristiwa tersebut mempunyai “validitas” bagi masyarakat. Sebaliknya, jika suatu tindakan, fenomena, atau peristiwa menimbulkan penderitaan yang lebih besar, maka tindakan tersebut tidak mempunyai “efektivitas”.

Dari asumsi di atas, penulis berpendapat bahwa tujuan dari konsep klasik utilitarianisme bukanlah bagaimana suatu tindakan, fenomena atau peristiwa akan digunakan untuk mencapai manfaat, melainkan untuk menghitung apakah semuanya membawa manfaat.

Jadi, jika membawa manfaat yang lebih besar, maka tindakan, fenomena atau peristiwa tersebut dengan sendirinya akan bermanfaat bagi masyarakat, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, utilitarianisme lebih cocok digunakan sebagai alat untuk menilai secara etis apakah sesuatu yang terjadi bermanfaat bagi masyarakat luas atau tidak, dengan menggunakan perhitungan senang dan sakit.

Pengembangan Utilitarianisme Bentham

Konsep utilitarianisme klasik kemudian dikembangkan oleh Jeremy Bentham, termasuk peran hukum (dalam beberapa publikasi perkembangan Jeremy Bentham disebut “utilitarianisme hukum”).

Dimana Jeremy Bentham mengambil pandangan yang sama dengan utilitarianisme klasik, namun menggali lebih dalam mengapa kesenangan dan rasa sakit digunakan sebagai batu ujian untuk mengevaluasi tindakan, peristiwa atau fenomena tertentu.

Menurutnya, manusia adalah makhluk hidup yang selalu dihantui perasaan senang dan sakit. Bayangan inilah yang nantinya akan menentukan tingkah lakunya, misalnya mengetahui bahwa orang dihantui oleh dua perasaan tersebut.

Jadi kita akan mengetahui apa yang memotivasi seseorang untuk bertindak, apa yang mendasari harapan dan cita-citanya, dan kita juga akan mengetahui apa yang akan dia lakukan di masa depan. Menurutnya, segala sesuatu pasti akan didasari oleh kebahagiaan untuk dirinya dan menghindari rasa sakit untuk dirinya sendiri.

Nah, secara rinci konsep utilitarianisme Jeremy Bentham menggambarkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada suatu peristiwa yang secara moral penting baginya, maka kita dapat menghitung siapa yang akan terpengaruh oleh tindakan tersebut dan seberapa besar kesenangan dan penderitaan yang mungkin ditimbulkannya. orang-orang yang terkena dampak situasi ini dan memilih tindakan apa yang dapat mengoptimalkan kebahagiaan mereka atau mengurangi penderitaan.

Selain itu, dalam konsep teori utilitarianismenya Jeremy Bentham juga berpendapat bahwa ada proses memaksimalkan utilitas, dan dalam proses ini memaksimalkan utilitas sama dengan memaksimalkan kebahagiaan, manfaat, manfaat dan kesenangan bagi sebanyak-banyaknya orang atau dalam jumlah besar. premis yang sama, Memaksimalkan utilitas sama saja dengan meminimalkan rasa penderitaan sebanyak mungkin orang yang terkena dampak situasi yang secara moral penting bagi mereka.

Jeremy Bentham di sini tidak memperdebatkan apakah moralitas terlibat dalam proses penghitungan kesenangan dan kesakitan, atau apakah moralitas merupakan hal yang penting bagi masyarakat, namun ia menempatkan moralitas sebagai indikator (atau mungkin pembenaran) untuk penghitungan kesenangan dan kesakitan. .

Oleh karena itu, perhitungan antara kesenangan dan kesakitan dapat dilakukan jika ada suatu tindakan atau peristiwa atau fenomena yang dianggap penting secara moral oleh masyarakat, sehingga jika masalah tersebut tidak ditemukan solusinya maka akan timbul kekacauan di dalamnya.

Oleh karena itu, menurut penulis pikiran utilitarianisme Bentham menjadi sangat penting bila digunakan sebagai alat analisis kebijakan hukum. Sebab selain anomali sosial, hukum juga merupakan komponen penting yang dapat menggoyahkan konsep-konsep moral sosial.

Melanjutkan pembahasan perhitungan kesenangan dan penderitaan dalam teori Jeremy Bentham, pendekatan ini berarti bahwa setiap pilihan yang akan diambil ditentukan oleh seberapa besar “kebahagiaan” yang akan ditimbulkan oleh pilihan tersebut, atau apa akibat dan akibat yang akan ditimbulkan oleh pilihan tersebut (Apakah itu akan membawa banyak "kebahagiaan").

Menurut konsep ini, tingkat kebahagiaan sebagai indikator efektivitas adalah total hasil penderitaan dan kebahagiaan sehubungan dengan tindakan, peristiwa, atau fenomena, dan jumlah individu yang terkena dampak tindakan, peristiwa, atau fenomena tersebut. Karena ada tingkat kebahagiaan tertentu, maka perasaan bahagia harus bisa diukur.

Bentham membenarkan ukuran kebahagiaan ini dengan konsep yang disebutnya “kalkulus moral” atau yang oleh sebagian ahli disebut “kalkulus hedonistik”. Konsep pertama dari perhitungan ini adalah mengetahui nilai kebahagiaan secara kuantitatif, yaitu nilai kesenangan dan nilai kesakitan. Asumsi yang dijelaskan oleh Bentham yaitu kebahagiaan adalah kesenangan atau kesenangan adalah kebaikan (Happiness is Pleasure and Pleasure is Good).

Ketidakbahagiaan adalah penderitaan dan penderitaan itu buruk (ketidakbahagiaan adalah rasa sakit dan rasa sakit itu buruk). Perhitungan antara keduanya dianggap suatu hal yang penting, sehingga walaupun diketahui secara kualitatif ada hal-hal lain yang dianggap sebagai nilai-nilai kebahagiaan, namun nilai-nilai kualitatif tersebut harus dikesampingkan terlebih dahulu kecuali nilai-nilai tersebut kemudian direvisi. dinyatakan sebagai nilai kuantitatif.

Dimana Bentham kemudian menempatkan tujuh variabel kuantitatif untuk melakukan proses perhitungannya, yang mana ketujuh variabel tersebut akan menentukan tingkat kesenangan yang akan timbul dari suatu tindakan, yaitu:
1. Intensitas kenikmatan
2. Durasi kenikmatan yang diberikan
3. Seberapa pasti atau belum pasti terpenuhinya kesenangan tersebut
4. Ketelitian dalam memenuhi kesenangan tersebut
5. Seberapa konsisten kenikmatan yang dihasilkan akan diikuti dengan kenikmatan serupa (kesenangan harus diikuti kenikmatan, dan kesakitan harus diikuti kesakitan)
6. Tidak ada kemungkinan kenikmatan yang diberikan akan diikuti sensasi sebaliknya (kenikmatan diikuti kesakitan)
dan 7. Berapa banyak atau luas orang yang terpengaruh oleh rasa kenikmatan tersebut. 

Dari ketujuh variabel diatas, pada dasarnya hanya untuk mencapai tujuan. Teori utilitas Bentham mengatakan bahwa hukuman dapat dibenarkan jika penerapannya mengkristalkan dua dampak utama, yaitu:
 
Pertama, konsekuensi pemidanaan adalah mencegah terulangnya kembali kejahatan yang dilakukan terpidana di masa yang akan datang.
Kedua, hukuman memberikan rasa kepuasan bagi korban dan orang lain. Sebab Bentham berpendapat bahwa tugas hukum adalah menjaga kebaikan dan mencegah keburukan.

Kesimpulan Sesungguhnya

Pandangan utilitarianisme pada dasarnya merupakan suatu paham etis yang menempatkan perbuatan yang dapat dikatakan baik adalah perbuatan yang bermanfaat, memberikan manfaat dan manfaat, sedangkan perbuatan yang tidak baik adalah perbuatan yang menimbulkan penderitaan dan kerugian.

Dengan kata lain, utilitarianisme versi Jeremy Bentham merupakan teori moral yang berpendapat bahwa suatu tindakan harus dinilai benar atau salah sepanjang tindakan tersebut meningkatkan atau menurunkan kesejahteraan atau 'utilitas' manusia.

Dimana suatu tindakan benar secara moral jika cenderung meningkatkan kebahagiaan atau kesenangan (dan salah secara moral jika cenderung meningkatkan ketidakbahagiaan atau kesakitan). di antara mereka yang terkena dampak.

Jeremy Bentham dalam ajarannya menyatakan bahwa tujuan hukum dan bentuk keadilan adalah untuk mewujudkan kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Dengan kata lain, menurut Utilitarianisme, tujuan hukum adalah menjamin kebahagiaan.

Thanks for read..

0 Response to "Perbedaan Konsep Utilitarianisme Klasik dan Utilitarianisme Bentham"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel