Nicolaus Driyarkara dan Pemikiran Filsafatnya
Tentu kita pernah memikirkannya, dan mungkin kita juga pernah bertanya, adakah orang Indonesia yang diakui sebagai filsuf? Jika ya, siapakah mereka? Apa gagasan mendasarnya? Berapa banyak dari mereka yang ada di sana? Apakah para filsuf ini masih hidup atau sudah mati?.
Berangkat dari itu, dan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, kami bermaksud menuliskan pembahasan beberapa filosof Indonesia ini. Salah satunya adalah yang kita kenal dengan nama Nicolaus Driyarkara. Berikut dibawah ini adalah penjelasan singkatnya.
Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara. SJ atau lebih dikenal Nicolaus Driyarkara adalah seorang filsuf asal Indonesia yang lahir pada tanggal 13 Juni 1913 di Keduggubah, Kaligesing Purworejo dan meninggal pada tanggal 11 Februari 1967 di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah, pada usia 53 tahun.
Sepanjang karir akademisnya, Nicolaus Driyarkara memulai pada tahun 1941 hingga 1942, dimana ia bekerja sebagai dosen di Menara Gilisen. Pada tahun 1943 hingga 1946, ia mengajar filsafat di Perguruan Tinggi Yogyakarta. Pada tahun 1952 ia menerima gelar PhD dalam bidang filsafat dari Universitas Gregorian untuk tesis tentang Nicolas Malebrands. Dimana dari 1952-1958, setelah mendapat gelar PhD, Nicolaus Driyarkara menjadi dosen filsafat di Yogyakarta. Dan pada 1960-1967, Guru Besar Terhormat, Jurusan Psikologi, Universitas Indonesia.
Bersamaan dengan jabatannya itu ia masih menjadi Dosen Universitas Hassandin Ujung Pandang (Makassar) dan Dari tahun 1962 hingga 1967, Ia adalah anggota Kongres Rakya serta di selang tahun 1963-1964, ia adalah Dosen tamu di Universitas St. Petersburg dan Universitas Louis di Amerika Serikat serta terakhir menjadi Anggota DPA 1965-1967.
Berkaitan dengan kehidupan pemikirannya dapat dilihat dalam catatan harian yang ditulisnya dari tahun 1941 hingga 1950. Dimana setiap tulisannya tidak pernah lepas dari permasalahan praktis mendesak yang dihadapi umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Catatan singkat itu dimuat di mingguan Yogyakarta bernama Praba. dan artikel yang ditulis dengan nama samaran Pak Nala di Warung Podjok.
Gaya menulis dan penyajian tulisannya deng konsep percakapan dari tahap ke tahap lambat laun berhasil membawa pembaca pada refleksi filosofis. Tepatnya ketika tulisannya di terbitkan di Majalah Basis pada tahun 1951 merupakah puncak pengenalan karya-karyanya sekaligus memberikan kesempatan bagi beliau untuk memperkenalkan gagasannya kepada masyarakat dengan menggunakan nama pena Puruhita, baru kemudian setelah itu berganti nama menjadi Driyarkara hingga dikenali sampai sekarang. Terlebih pada saat itu ia adalah Penanggungjawab Majalah Bebas itu sendiri.
Selama mengurus Majalah Basis, Driyarkara dinobatkan sebagai Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Sanata Dharma (cikal bakal IKIP Sanata Dharma). Dimana saat berpidato pertanggungjawabannya mengenai pentingnya pendidikan guru mendapat tanggapan luas dan setelahnya pada tahun 1955 ia dikenal sebagai seorang Filsuf dan juga ahli pendidikan.
Pemikirannya mulai dari pendidikan, masyarakat, kebudayaan hingga seni. Semua gagasan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk tulisan, seperti esai, artikel media massa, makalah seminar, transkrip pidato, bahkan tatanan materi pidato.
Sehingga dari itu, menurut Nicolaus Driyarkara, menulis, berbicara, berpidato, dan ceramah merupakan cara-cara penyampaian pesan yang mengandung implikasi bagi pencarian jati diri bangsa. Salah satu doktrin utama yang dikemukakan oleh Nicolaus Driyarkara yaitu.
"Manusia adalah kawan bagi sesama atau dalam sebutan dunia sosial (Homo Homini Socius), yang berarti sesama manusia adalah rekan atau sahabat satu sama lain"
Selanjutnya melalui ajaran beserta dalam pemahaman Homo Homini Socius, ini maka Driyarkara menemukan upaya untuk mengkritik, mengoreksi dan memperbaiki sifat sosialitas preman yang saling menerkam, saling merampok dan saling membenci yaitu (Homo Homini Lupus atau Manusia adalah serigala bagi sesama).
Pendapat ini yang membuat Driyakara sering dikelompokkan dengan sebagai pemikir humanis, meskipun pandangannya tidak identik dengan filsafat humanis yang berkembang di Eropa setelah zaman Renaisans. Pembahasan perkembangan wacana humanis di Indonesia tidak lepas dari sosok Nicolaus Driyarkara.
Lebih lanjut Nicolas Driyakara mencapai titik berfilsafatnya dengan salah satunya pendekatan fenomenologis eksistensial, dimana dengan pendekatan Fenomenologi eksistensial Ia berhasil mempertanyakan, menantang, memberi makna dan menawarkan jalan keluar, serta mendobrak pintu permasalahan kemanusiaan dan kebangsaan.
Adapun karya-karya seperti buku-buku yang mengulas pemikiran filsafat Nicolaus Driyarkara, dapat ditemukan pada karya-karya yang sebenarnya bukan ditulis olehnya, melainkan melalui siaran RRI, kumpulan bahan perkuliahan, kuliah universitas, dan presentasi ilmu filsafat. Roma Gregoriana. sebagai berikut.
1. Percikan Filsafat (Pertijikan Filsafat 1962)
2. Filsafat Manusia (Yogyakarta 1969)
3. Driyarkara tentang pendidikan, Driyarkara tentang kemanusiaan, Driyarkara tentang negara dan bangsa. (Yogyakarta 1980)
4. Kumpulan surat Romo Drijakara
5. Nuansa owah gingsiring
6. Pendidikan Gaya Toko Pojok: Catatan dari Profesor Dr. N. Driyarkara, S.J. Tentang masalah sosial, politik dan budaya.
Sekian. Bila ada yang kurang tolong dimaklumi, bila ada yang perlu dibenahi silahkan komen di kolom komentar aja ya.
0 Response to "Nicolaus Driyarkara dan Pemikiran Filsafatnya"
Post a Comment