Konsepsi Politik Imam Al-Mawardi


Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dunia Islam di masa lalu banyak melahirkan tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir besar yang nama dan tulisannya masih dijadikan dan dijadikan acuan dalam menghadapi berbagai situasi dan persoalan yang muncul dalam kehidupan umat Islam. Khazanah ilmu pengetahuan Islam pada masa Kekhalifahan Abbasiyah menciptakan sejarah emas dengan kemajuan pemikiran ilmiah dan keagamaan (Yunus, 2020). 

Salah satu tokoh, pemikir dan pendiri politik Islam yang mendukung kemajuan Bani Abbasiyah adalah Imam Al Mawardi. Beliau lahir dengan nama. Abu Al-Hassan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawari al-Bashri, tapi beliau lebih terkenal dengan nama Al-Imam Al Mawardi. Lahir di Basra pada tahun 364 H. Ia adalah ahli hukum Islam, Hadis dan Pemikir Politik. Ia dianggap sebagai tokoh Syafi'i terkemuka pada abad ke-10 dan merupakan pejabat tinggi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah sekaligus menjadi tokoh yang hidup pada masa kemunduran Dinasti Abbasiyah.

Dalam kitabnya yang terkenal al-Ahkam as-Sulthaniyah, beliau banyak memberikan teori-teori politik yang masih relevan hingga saat ini dan digunakan oleh sebagian umat Islam untuk mengatur berbagai persoalan yang berkaitan dengan politik dan ketatanegaraan.

Dimana Al-Ahkam as-Sulthaniyyah sangat terkenal dan sering dianggap sebagai penafsiran teori politik Islam yang paling benar, khususnya di kalangan Sunni. Dan dalam sejarah Islam, kitab ini merupakan risalah pertama yang membahas secara rinci bidang politik dan ketatanegaraan.

Menurut Al-Mawardi Gagasan tentang kenegaraan merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji karena banyak sekali tokoh-tokoh zaman dahulu yang mengusulkan sistem kenegaraan yang baik.Salah satu tokoh yang mengusulkan kenegaraan adalah Mavardi yang merupakan penemu pertama teori politik Islam. Pada awal abad ke-11 M, yaitu pada abad ke-5, sebelum para sarjana Barat mengenal teori politik. 

Dalam konsepsi Al-Mawardi tentang negara, agama memainkan peran sentral sebagai sumber legitimasi realitas politik. Mawadi berupaya menggunakan cita-cita politik yang ditentukan oleh agama untuk mengkompromikan realitas politik dan menjadikan agama sebagai sarana untuk membuktikan kesesuaian dan legitimasi politik. Dalam pengelolaan negara, Al-Mawardi mengedepankan pendekatan kelembagaan yang memaksimalkan fungsi kelembagaan dan memperkuat struktur negara.

Bagi Al-Mawardi, Syariah (Islam) mempunyai tempat sentral sebagai sumber legitimasi realitas politik. Imam al-Mawadi berpendapat bahwa negara sendiri merupakan alat atau sarana untuk menciptakan dan memelihara kepentingan.

Nah, dalam hal ini Mawardi justru memperkenalkan pendekatan pragmatis terhadap persoalan politik ketika berhadapan dengan prinsip-prinsip agama. Dalam konsep negara Mawardi mengatakan bahwa agama memegang peranan sentral sebagai sumber legitimasi realitas politik. Mencoba menggunakan cita-cita politik yang ditentukan oleh agama untuk mengkompromikan realitas politik dan menjadikan agama sebagai sarana pembuktian kelayakan dan legitimasi politik.


Selanjutnya, seperti yang sudah dibahas dan kita ketahui bahwa pemikiran politik Al-Mawardi tertuang dalam dua karyanya, Al Ahkam As-Sulthaniyyah: Prinsip-prinsip Organisasi Negara Islam dan Adabud Dunya wa Din: Kenikmatan Hidup Sekuler dan Beragama; Etika dalam Hubungan Manusia

Terutama ketika membahas dan menafsirkan gagasan secara obyektif dan kritis, dalam hal ini mengkaji pemikiran Mawardi dan politik Islam dari perspektif filsafat politik. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

Pertama, pada hakikatnya, politik Islam tidak mengenal dikotomi antara politik dan agama. Aturan Islam pada dasarnya adalah aturan politik dan agama. Sebab hakikat Islam meliputi aspek materi (maddiyah) dan aspek psikis (ruhiyah), serta mencakup seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawiyah.

Menurut Al-Mawardi, Filsafat politik Islam berakar pada penggalian ajaran Islam itu sendiri, termasuk apa yang langsung diamalkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (seperti sifat dapat dipercaya, jujur, dan adil). Namun dalam praktik politik, Islam tidak menggunakan agama (Islam) sebagai ideologi, melainkan sebagai landasan etika.

Kedua, al-Mawardi merupakan tokoh besar dalam teorisasi prinsip-prinsip dasar perspektif politik Islam. Mawardi mengemukakan beberapa gagasan penting, antara lain kesadaran sosial umat manusia yang tidak dapat bertahan hidup tanpa bantuan orang lain yang menjadi pemicu dan awal terbentuknya negara, dimana Al-Mawardi berpendapat bahwa selain sebagai pemimpin politik, ia juga merupakan pemimpin nasional. pemimpin agama pada hakikatnya karena dialah khalifah pengganti fungsi kenabian.

Ketiga, pemikiran politik Mawardi relevan dengan situasi sosial dan politik Indonesia. Mawadi meyakini konsep pembentukan bangsa bermula dari kesadaran kolektif dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakatnya mandiri dan bermartabat, sejalan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ini juga tentang masyarakat dan politik. 

Setelah Indonesia merdeka dari penjajah, Indonesia menandatangani kontrak dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi nasional. Bentuk praktek yang lain dapat digolongkan sebagai kontrak sosial, jika mengacu pada filsafat politik Mavardi, praktek ini terjadi pada saat seseorang terpilih menjadi pemimpin, sehingga selama tidak bertentangan dengan rakyat maka ia harus ditaati oleh rakyatnya. 

0 Response to "Konsepsi Politik Imam Al-Mawardi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel