5 Filsuf Eksistensialisme beserta Pemikirannya


Sejarah Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang muncul setelah pecahnya Perang Dunia I dan berkembang di Perancis setelah Perang Dunia II. Ide-idenya mengeksplorasi kebebasan individu dan memberikan jalan keluar bagi korban perang yang mengalami krisis kebebasan.

Oleh karena itu, eksistensialisme dipahami sebagai paham yang menempatkan manusia sebagai pusat dari seluruh hubungan antarmanusia. Eksistensialisme berakar pada upaya menemukan eksistensi dan esensi diri di luar segala hegemoni.

Inti dari filsafat eksistensial adalah anggapan bahwa hanya manusia yang ada. Eksistensi adalah cara hidup manusia yang unik. Fokus utamanya adalah pada manusia, oleh karena itu filosofi ini bersifat humanistik dan keberadaannya harus dimaknai secara dinamis.

Ciri-ciri Perspektif Eksistensialis

Eksistensialisme mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menolak untuk dimasukkan ke dalam aliran filsafat tertentu
2. Kegagalan mengakui kecukupan sistem filsafat dan ajaran keimanan (agama).
3. Sangat tidak puas dengan kedangkalan, akademis, dan jauhnya kehidupan sistem filsafat tradisional.

Filsafat ini termasuk dalam kategori filsafat modern, banyak dipengaruhi oleh filsuf Søren Kierkegaard dan Friedrich Wilhelm Nietzsche sekitar abad ke-19, dan lagi pada abad ke-20 oleh Martin Heidegger Prosperity.
Nicholas Berdyaev dan Jean-Paul Settere. Berikut pemikiran karakter tentang pemahaman eksistensial.

1. Søren Kierkegaard (1813-1855 M)
 
Soren Aabye Kierkegaard (lahir 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark – meninggal di Kopenhagen, Denmark pada 11 November 1855 pada usia 42 tahun) adalah seorang filsuf dan teolog Denmark abad ke-19.

Kehidupan Kierkegaard dikenal lebih religius daripada filosofis. Namun, Kierkegaard kemudian dikenal sebagai bapak filsafat eksistensial karena perannya dalam menjembatani kesenjangan yang ada dalam pemikiran Hegel.

Semuanya dimulai dengan penolakannya yang kuat terhadap ide-ide Hegel. Keberatan utama yang diajukannya adalah bahwa Hegel meremehkan keberadaan konkrit karena ia (Hegel) mengutamakan gagasan-gagasan umum. Kierkegaard percaya bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai “saya yang umum”, tetapi sebagai “saya yang individual”.

Kierkegaard berpendapat bahwa keberadaan manusia tidaklah statis, melainkan selalu berubah.Manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Oleh karena itu, ditegaskan bahwa manusia harus mempunyai keberanian untuk mencapai apa yang diinginkannya atau apa yang menurutnya mungkin.

Kemanusiaan selalu berkembang dan bergerak menuju hal-hal yang lebih baik. Artinya kesadaran diri menjadi kata kunci, karena melalui kesadaran diri umat manusia bisa bergerak ke arah yang lebih baik. Kesadaran diri muncul ketika manusia mempunyai kebebasan untuk mengambil keputusan.

2. Friedrich Nietzsche (1844-1900 M)

Friedrich berpendapat bahwa manusia yang gigih adalah manusia yang memiliki keinginan untuk berkuasa (will to power), dan manusia yang berkuasa harus menjadi manusia super (uebermensh) yang bermental master, bukan bermental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat diperoleh melalui penderitaan, karena melalui penderitaan orang akan berpikir lebih positif dan menemukan dirinya sendiri.

"Keinginan untuk berkuasa" adalah konsep inti dalam filsafat filsuf Jerman abad ke-19, Friedrich Nietzsche. Konsep ini paling baik dipahami sebagai kekuatan irasional yang ada pada semua individu dan dapat diarahkan ke tujuan yang berbeda.

Nietzsche mengeksplorasi konsep keinginan untuk berkuasa sepanjang karirnya, mengklasifikasikannya sebagai prinsip psikologis, biologis, atau metafisik. Oleh karena itu, keinginan untuk berkuasa juga merupakan salah satu gagasan Nietzsche yang paling disalahpahami.

Pada saat yang sama, Ubermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan melihat lebih jauh. Melalui metode evaluasi ini, Nietzsche tidak lagi percaya pada segala bentuk nilai supernatural bagi manusia dan dunia (Sunardi 2011: 147).

3. Nikolay Berdyaev (1874-1948 M)

Berdyaev dilahirkan dalam keluarga bangsawan militer di Kiev. Selama masa kecilnya dia tinggal sendirian di rumah, di mana perpustakaan ayahnya mengizinkan dia membaca secara ekstensif. Ketika usianya baru 14 tahun, ia membaca karya-karya Hegel, Schopenhauer, dan Kant, serta menguasai berbagai bahasa asing.

Dia Berdyaev sangat peduli dengan kreativitas dan terutama kebebasan dari segala sesuatu yang menghalanginya. Filsafatnya dianggap eksistensial Kristen. Meskipun terkenal sebagai seorang Kristen yang taat, namun ia sering mengkritik gereja yang sudah mapan.

Pada tahun 1913, sebuah artikel yang mengecam Sinode Suci Gereja Ortodoks Rusia menyebabkan dia dituduh melakukan penistaan ​​agama, dan hukumannya adalah pengasingan seumur hidup ke Siberia. Perang dunia dan Revolusi Bolshevik membuat dia tidak pernah diadili.

Ada dua peristiwa besar yang meninggalkan kesan mendalam bagi Berdyaev, Perang Dunia I dan Revolusi Oktober Rusia. Dari dua kejadian tersebut, Berdyaev menyaksikan betapa berharganya kebebasan manusia untuk hidup bermartabat. Karena dua hal tersebut, ia melihat kebebasan manusia dirampas.

Oleh karena itu, semua pemikiran filosofis Berdyaev didasarkan pada antroposentrisme atau lebih tepatnya individualisme. dan dianggap sebagai pengikut eksistensialisme Kristen.

Berdyaev berpendapat bahwa manusia adalah makhluk kompleks dengan dualisme dasar yang tidak dapat disangkal, yaitu manusia adalah ciptaan Tuhan dan hasil alam.

Artinya di satu sisi kita mendapati manusia sebagai makhluk spiritual dan di sisi lain manusia adalah wujud kodrati. Disana kedua hal tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam diri individu manusia.

Manusia sebagai makhluk spiritual mempunyai sifat yang bebas, dan sebagai makhluk alamiah ia harus memahami keterbatasan-keterbatasan sebagai manusia.

Bagi Berdyaev, pertanyaannya adalah bagaimana manusia memahami keberadaan bebasnya sendiri dan bagaimana mengatasi paradoks yang dialami manusia sehingga dapat mewujudkan kebebasan keberadaan kemanusiaannya.

4. Martin Heidegger (1889-1976 M)

Martin Heidegger (lahir 26 September 1889 di Mebkirch, Jerman – meninggal pada 26 Mei 1976 pada umur 86 tahun) adalah seorang filsuf Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah bimbingan Edmund Husserl, pendiri fenomenologi, dan menjadi profesor di sekolah tersebut pada tahun 1928.

Inti pemikirannya eksistensialisme adalah, keberadaan manusia ada dalam keberadaan lain. Segala sesuatu di luar manusia selalu berhubungan dengan manusia itu sendiri. Benda-benda di luar manusia hanya bermakna jika berhubungan dengan manusia. 

Oleh karena itu, selalu digunakan benda-benda luar. Setiap tindakan dan tujuan manusia. Dengan kata lain, benda-benda material, alam material, dunia luar manusia tidak ada artinya dan tidak ada gunanya tanpa adanya manusia. Maka menurutnya dunia ini masuk akal hanya karena adanya manusia.

5. Jean-Paul Sartre (1905-1980 M) 

Jean Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905, meninggal di Paris pada tanggal 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ia dilahirkan dalam keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang perwira angkatan laut Perancis dan ibunya adalah putri seorang profesor bahasa modern di Sorbonne.

Semasa hidupnya, ia berjasa mempopulerkan eksistensialisme setelah Kierkegaard. Ia percaya bahwa keberadaan mendahului esensi (L'existence précède l'essence). Seseorang dilahirkan tanpa membawa apa-apa, dan hidupnya tidak lain hanyalah hasil perhitungan dari komitmen masa lalunya.

Oleh karena itu, Sartre meyakini bahwa satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L'homme est condamné à être libre). Ia menekankan kebebasan manusia, setelah diciptakan manusia mempunyai kebebasan untuk memutuskan dan menyesuaikan diri.

Artinya, konsep manusia yang bereksistensi adalah manusia yang hidup dan tumbuh dengan sadar dan bebas bagi dirinya sendiri. 

Demikianlah profil tokoh-tokoh pemikir eksistensialisme beserta penjelasan tentang pemikirannya tentang eksistensialisme itu sendiri. 

0 Response to "5 Filsuf Eksistensialisme beserta Pemikirannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel