Pemikiran Hannah Arendt Tentang Totalitarianisme


Hannah Arendt adalah seorang filsuf Jerman yang tidak ingin disebut filsuf sepanjang hidupnya, namun lebih suka disebut kritikus politik. Karena Hannah Arendt percaya bahwa filsafat berurusan dengan manusia dalam satu pengertian yang “tunggal”. Namun sayangnya, hingga saat ini, secara historis ia lebih banyak digambarkan sebagai seorang filsuf.

Filsuf kelahiran Linden, Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906 ini memulai perjalanan filsafatnya saat kuliah di Universitas Marburg Jerman. Pengaruh langsungnya adalah filsuf Martin Heidegger, yang kemudian menjadi dosennya dan pasangan romantisnya yang energik pada saat itu. Hannah Arendt, yang terlahir sebagai Yahudi, terpaksa mengungsi dari Jerman ke Paris, Prancis. 

Diman di sana, Hannah Arendt bertemu dan berteman dengan tokoh Marxis Walter Benjamin. Walter Benjamin adalah seorang kritikus sastra dan mistikus yang membantu memindahkan pengungsi Yahudi Jerman dari satu kamp konsentrasi ke kamp konsentrasi lainnya untuk menghindari agresi militer Nazi.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Hannah Arendt kembali ke Amerika Serikat dan mengemukakan beberapa gagasan yang berfokus pada penguatan konsep kebebasan dan kesetaraan dalam aksi politik kolektif. Misalnya saja bidang-bidang seperti sifat kekuasaan, topik politik, otoritas, dan totalitarianisme. Hannah Arendt mengkritik asumsi kaum liberal yang mengatakan "kebebasan dimulai dari tindakan politik" dan dia membingkai teorinya sebagai teori komunal dan asosiatif.

Menolak Segala Bentuk Penindasan 
dan Totaliter

Berangkat dari pengalaman hidupnya yang keras dan diskriminatif, Hannah Arendt mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik saat kekerasan dalam kekuasaan yang bia tolak untuk menerima gagasan bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk mempertahankan kekuasaan demokrasi. Sebab baginya, kekerasan seharusnya hanya menjadi “pilihan terakhir” terhadap kaum anarkis dan pembangkang yang menentang pemerintahan demokratis.

Tentang Totalitarianisme

Karya besar pertama Arendt, yang diterbitkan pada tahun 1951 yang berjudul The Origins of Totalitarianism atau Asal-usul Totalitarianisme, jelas merupakan respons terhadap peristiwa-peristiwa dahsyat pada masa seperti kebangkitan Nazi Jerman dan penderitaan kaum Yahudi Eropa, kebangkitan Stalinisme di Uni Soviet dan pemusnahan jutaan petani dan para intelektual, penulis, seniman, ilmuwan, dan aktivis politik yang berpikiran bebas). 

Dalam pemikirannya Hannah Arendt menekankan bahwa manifestasi kejahatan politik ini tidak boleh dipahami sebagai sekadar memperluas skala atau cakupan preseden yang ada, melainkan mewakili “bentuk pemerintahan baru” yang didasarkan pada teror dan fiksi ideologis. Meskipun negara-negara tirani lama menggunakan teror sebagai alat untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan, rezim totaliter modern tidak menunjukkan rasionalitas strategis dalam penggunaan teror. 

Sebaliknya, teror bukan lagi alat untuk mencapai tujuan politik, melainkan tujuan akhir. Pentingnya kebutuhan akan hal ini kini ditunjukkan dengan mengacu pada hukum sejarah (seperti kemenangan masyarakat tanpa kelas yang tak terelakkan) atau hukum alam (seperti perang yang tak terelakkan antara ras yang “terpilih” dan ras “yang gugur” lainnya).

Bagi Arendt, ideologi totaliter mempunyai kekuatan untuk memobilisasi orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan, dan daya tarik universalnya terletak pada penghancuran lingkungan yang tertib dan stabil di mana masyarakat pernah hidup. Meluasnya Perang Dunia I, terciptalah masa Depresi Besar, dan penyebaran kerusuhan revolusioner membuat masyarakat terbuka terhadap penyebaran satu gagasan tunggal yang jelas dan tidak ambigu yang akan memberikan tanggung jawab atas penderitaan dan menunjukkan jalan yang benar untuk menjamin keamanan nasional serta memerangi ketidakamanan dan bahaya di masa depan.

Ideologi totaliter selelu menawarkan jawabannya seperti diatas, dan mengklaim bahwa mereka telah menemukan "kunci sejarah" yang dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa masa lalu dan masa kini, dan bahwa masa depan dapat dicapai dengan menjalankan perintah sejarah atau alam. 

Oleh karena itu, penerimaan masyarakat Eropa terhadap gagasan totaliter merupakan akibat dari serangkaian patologi yang mengikis ruang publik atau politik sebagai ruang kebebasan dan kebebasan. Patologi ini mencakup ekspansionisme kapital imperialis dan penindasan kolonial, serta perampasan negara oleh kaum borjuasi sebagai alat untuk memajukan kepentingan sektoral mereka. Hal ini pada gilirannya menyebabkan tidak sahnya lembaga-lembaga politik dan terkikisnya prinsip-prinsip sipil serta konsensus yang telah lama menjadi inti upaya politik demokratis.

Kesimpulan Sederhana

Dalam karya awal ini kita dapat melihat beberapa tema berulang yang mendominasi tulisan politik Arendt sepanjang hidupnya. Misalnya, kondisi untuk menciptakan kehidupan publik yang manusiawi dan demokratis, kekuatan sejarah, sosial dan ekonomi yang mengancam kehidupan publik, konflik hubungan antara kepentingan swasta dan publik, dampak dari siklus produksi yang semakin intensif diselidiki. dan konsumsi yang merusak stabilitas kehidupan manusia secara keseluruhan, dll. Tema-tema ini tidak hanya akan muncul berulang kali dalam karya Arendt selanjutnya, namun tema-tema tersebut akan dijabarkan secara konseptual melalui pengembangan perbedaan-perbedaan utama untuk menggambarkan hakikat keberadaan politik dan kapasitasnya untuk menghasilkan dan melestarikan keberadaan politik

Thanks

0 Response to "Pemikiran Hannah Arendt Tentang Totalitarianisme"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel