5 Filsuf yang Menolak Sistem Demokrasi beserta Alasannya


Demokrasi adalah suatu bentuk sistem pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh rakyat atau warga negara, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakilnya yang dipilih. Kata “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani kuno, dimana “demos” berarti “rakyat” dan “kratos” berarti “kekuasaan” atau “pemerintahan”.

Dalam sistem demokrasi, masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik melalui pemilihan umum, referendum atau mekanisme partisipatif lainnya. Prinsip dasar demokrasi adalah kedaulatan rakyat, dan pemerintah bertindak berdasarkan keinginan mayoritas dengan tetap menghormati hak-hak minoritas.

Dalam demokrasi terdapat tokoh atau filsuf yang mendukung kehadirannya, namun ada juga yang menentangnya, dibawah ini adalah filsuf yang menentang atau menolak diberlakukannya sistem demokrasi. 

1. Demokrasi Menurut Socrates

Dalam dialog-dialog Plato, Socrates, bapak filsafat Yunani, digambarkan sangat pesimis terhadap demokrasi secara keseluruhan.

Socrates menyampaikan pandangannya tentang demokrasi melalui ilustrasi unik perahu yang disampaikan dalam buku Plato, The Republic. Plato, Socrates menyatakan penolakannya terhadap cara demokrasi di kota Athena dijalankan, dan menggunakan kisah Adeimantus untuk menggambarkan hal ini.

Dijelaskan bahwa terjadi dialog antara Socrates dan Adeimantus. 

Socrates bertanya kepada Adeimantus: "Jika kamu ingin berlayar di laut lepas, siapa yang akan kamu pilih untuk menjadi pilot? Tidak peduli siapa itu siapa atau siapa yang benar-benar terdidik di bidang pelayaran?" Adeimantus langsung berkata: "Jawaban akhirnya tentu saja ," Socrates melanjutkan: "Lalu mengapa kita harus memberikan suara kepada semua orang dalam memutuskan siapa yang pantas untuk memimpin?"

Oleh karena itu, Socrates mengemukakan bahwa demokrasi sebenarnya bukanlah suatu sistem pemerintahan di mana rakyat memerintah. Namun dalam sistem pemerintahan, kekuasaan dipegang oleh mereka yang mempunyai kemampuan memanipulasi.

Situasi ini tentu merugikan mereka yang tertipu dengan retorika persuasif para calon pemimpin. Laman Encyclopedia Britannica antara lain menyatakan bahwa Socrates mengemukakan bahwa sifat demokrasi yang menipu dapat menjadikannya sistem politik yang korup.


2. Demokrasi Menurut Plato

Plato berpendapat bahwa negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang tidak ideal. Cita-cita sistem demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat.

mengapa demikian? Plato mengemukakan bahwa demokrasi adalah suatu sistem yang menjunjung kebebasan, artinya masyarakat bebas mengemukakan pendapatnya. 
Kebebasan ini dapat bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain. Kebebasan ini tidak ada batasnya, tidak ada aturannya, tidak ada hukumnya.

Orang yang terlalu bebas, terlalu menikmati, dan terlalu banyak keinginan akan membawa bencana bagi negara dan masyarakat. Jika setiap orang mau melakukan apa yang disukainya, maka akan terjadi kekacauan, kekerasan, kerusakan moral, kebobrokan.

Artinya permasalahan utama sistem demokrasi yang dikritik Plato adalah kebebasan mutlak warga negara dan partisipasi warga negara yang berlebihan dalam urusan kenegaraan.

3. Demokrasi menurut Thomas Hobbes

Thomas Hobbes (1558-1479), adalah seorang filsuf penganut ideologi kekuasaan absolut, dimana negara mempunyai kekuasaan absolut, dan menolak keberadaan lembaga perwakilan. 

Negara dalam hal ini mempunyai segala hak dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan setiap individu, termasuk kekuasaan mutlak untuk menghukum individu. Individu-individu di suatu negara terikat oleh perjanjian-perjanjian yang mereka buat.

Secara langsung, Hobbes berpendapat bahwa negara harus terus diatur secara absolut. Ia percaya bahwa pada dasarnya jika tidak ada negara, maka umat manusia akan punah, dan negara didirikan untuk menjamin kelangsungan hidup umat manusia. Namun begitu terbentuk, penguasa politik (negara) mempunyai kekuasaan absolut. Kewenangan mutlak negara adalah untuk memungkinkan manusia hidup dan bekerja secara tenteram, tertib, dan tenteram.

4. Demokrasi Menurut Karl Marx

Marx percaya bahwa sistem demokrasi perwakilan yang diusulkan oleh kaum liberal adalah sarana untuk mempertahankan kekuasaan kaum borjuis dan oleh karena itu bukan merupakan alat politik murni yang mampu mewujudkan kepentingan proletariat.

Marx berpendapat bahwa demokrasi yang terkandung dalam Revolusi Perancis saat itu adalah kebalikan dari monarki dan feodalisme, namun lawan dari demokrasi adalah kelas menengah dan harta bendanya. Ini adalah bukti dari keseluruhan proses pembangunan.

Kelas menengah berkuasa, masyarakat miskin kehilangan haknya, tertindas, berkeringat namun tidak dilindungi oleh konstitusi dan disiksa oleh hukum. Di Inggris pertarungan antara demokrasi dan aristokrasi adalah pertarungan antara si miskin dan si kaya. Demokrasi yang dijalankan Inggris adalah demokrasi sosial yang melegitimasi kekuasaannya.

Menurut Marx, demokrasi fisik seringkali gagal memperbaiki penyakit sosial. Kesetaraan demokratis adalah sebuah mimpi dan pertarungan antara si miskin dan si kaya tidak bisa dilakukan dalam demokrasi atau politik secara umum. 

Oleh karena itu, tahap ini merupakan sebuah transisi, sebuah langkah akhir yang murni politis yang masih harus diupayakan dan harus segera mengembangkan elemen baru, sebuah prinsip yang melampaui semua politik.

5. Demokrasi Menurut Nietzsche

Secara terang, Nietzsche adalah pembela aristokrasi dan penentang demokrasi. Nah, dapat dilihat bahwa secara kritis Demokrasi dalam kata-kata Nietzsche, merupakan perluasan moralitas budak ke dalam politik, karena demokrasi mengedepankan nilai-nilai mayoritas. 

Hal ini mengubah metafisika kesetaraan di hadapan Tuhan menjadi metafisika kesetaraan politik. Namun bagaimana jika, seperti yang dikatakan Nietzsche, “Tuhan sudah mati”? Bagaimana jika masyarakat tidak lagi percaya pada agama transendental yang memberikan landasan metafisik bagi keyakinan akan kesetaraan politik universal?

“Seperti yang dipahami secara umum, hal ini tidak berarti bahwa Nietzsche menolak demokrasi sama sekali. Ia dengan mudah menerima gagasan bahwa kehidupan demokratis adalah kehidupan yang paling cocok untuk mayoritas rakyat. Keberatan utamanya adalah bahwa demokrasi dianggap sebagai satu-satunya bentuk kehidupan.

Demikianlah penjelasan tentang para filsuf yang pada dasarnya tidak setuju dengan sistem demokrasi. baik secara keseluruhan maupun sebagiannya dalam konsep demokrasi

By. Awin Buton

0 Response to "5 Filsuf yang Menolak Sistem Demokrasi beserta Alasannya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel