Premis-Premis Dalam Menjaga Kondisi Pluralitas Agama di Indonesia

Premis-Premis Dalam Menjaga Kondisi Pluralitas Agama di Indonesia
Foto oleh Artem Beliaikin dari Pexels


Kampanye-kampanye terkait toleransi bukan hanya sekedar mendulang keuntungan materi dan meraih beragam sanjungan semata dari balik aktivitas di dalam kehidupan manusia, akan tetapi lebih mencoba mencapai kesepahaman yang bukan hanya secara pemikiran namun lebih kepada perilaku. Terlebih di negara Indonesia kita tercinta ini memiliki banyak Suku, Ras dan Agama yang dianut dan dipraktekkan..

Berangkat dari perbedaan itu, sejak dulu menjadi sebagian besar dari konflik sosial di dalam masyarakat, seperti yang kita ketahui Indonesia pernah melewati situasi konflik, dimana banyaknya konflik internal itu lebih kepada mengenai Agama, Suku dan Ras, namun seiring berjalannya waktu perubahan terlihat dengan berkurangnya konflik agama, suku maupun ras, akibat dari keterbukaan informasi yang memudahkan seseorang untuk lebih jeli melihat sebuah persoalan yang harus dilihat akar pangkalnya sebelum mengambil tindakan represif secara fisik.

Walaupun harus diakui bahwa sampai sekarang tetap ada konflik Agama, Kesukuan dan Ras dalam bentuk fisik. akan tetapi semua tidak hilang seutuhnya, akan tetapi perselisihan itu bergeser pada laman media sosial, semisalnya, Facebook, Twitter, WhatsApp, YouTube dan lainnya. Dengan kemampuan penyebaran informasi sekilat mata dan bersifat lintas samudera dan benua.

Kenyataan ini yang semestinya secepatnya di miminimalisir secara adaptif sehingga mobilisasi massa tidak terjadi. Artinya secara fisik hingga memakan korban telah dapat di amankan.Sayangnya, hal ini tidak sepenuhnya tidak diikuti oleh konflik-konflik mengenai agama, konflik di arah agama secara keseluruhan terlihat lebih kompleks karena dalam media massa maupun realitas sering cepat terprovokasi dan masih rentan untuk kembali terjadi lagi.

Terkait konflik lintas agama menurut, Louis Kriesberg dalam bukunya yang berjudul Constructive Conflicts : From Escalation to Resolution, terbit 1998. Agar dapat mengembangkan teori komprehensif mengenai bagaimana konflik yang dipandangnya sebagai sesuatu yang natural ada dalam kehidupan manusia bisa berakhir secara destruktif atau konstruktif melalui 3 mekanisme yang bisa menyelesaikan konflik secara damai dan menjadi sesuatu yang konstruktif yakni pertama, Mekanisme Internal Kelompok, Mekanisme antara Kelompok dan Mekanisme Eksternal (diluar).

Mekanisme ini jika diletakkan dalam konteks konflik agama, maka konflik itu dapat diselesaikan melalui mekanisme internal agama, mekanisme antar agama maupun mekanisme eksternal. Namun bagi Louis Kriesberg, mekanisme internal yang paling tepat untuk dilakukan terlebih dahulu. Dimana mekanisme internal terdiri dari berbagai mekanisme yang ada didalam suatu kelompok agama. Salah satu dari mekanisme ini adalah pengembangan etika dan spiritualitas baru di dalam satu agama yang lebih mengedepankan perdamaian dan penyelesaian masalah secara non-kekerasan.
Dengan kata lain, kedua mekanisme lainnya baru akan dipakai ketika mekanisme pertama tidak begitu berjalan dengan baik dalam upaya-upayanya.

Premis : Kita Harusnya Melahirkan Seorang Sosok Panutan 

Mekanisme lain untuk menghindari konflik dapat dilakukan di dalam kelompok agama ialah adanya sosok, tokoh yang menjadi panutan dalam kelompok agama tertentu, karena para tokoh dan pemimpin agama dapat mengendalikan perilaku para pengikut mereka supaya menahan diri agar tidak mengambil tindakan agresif dengan kekerasan ketika suasana tegang karena timbulnya konflik agama maupun sosial.

Mekanisme diatas ini disebut Pemolisian internal atau internal policing, yang memanfaatkan kesediaan suatu kelompok masyarakat untuk mengidentifikasi masalah dan menghukum pihak yang melakukan kekerasan kelompok. Dimana terjadi ketegangan dan konflik agama maupun sosial, kelompok agama telah dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dengan semula dahulu mengembangkan atau melahirkan sosok kepemimpinan yang pro- perdamaian atau kepemimpinan yang positif lewat pemimpin yang karismatik.
Tersedianya tokoh dan pemimpin agama semacam ini dapat menjadi pengimbang dan alternatif kepada kepemimpinan yang negatif, mereka yang mendukung kekerasan atau pula mereka yang memobilisasi umat (massa) dalam rangka kekerasan kolektif.

Nah, sejalan dengan keinginan menciptakan sosok panutan yang karismatik, maka hal wajib yang dipelajari oleh para pemimpin agama ialah toleransi, sikap saling menghargai, dan hidup berdampingan secara damai. Salah satu sikap toleransi dan sikap saling membantu sesama dari sosok panutan dapat terlihat juga ketika terjadi bencana alam dan konflik sosial. Tindakan membantu dan menolong ini mungkin terlihat terbatas pada pemberian bantuan kemanusiaan, kesehatan dan pertolongan darurat lainnya. 
Akan tetapi, hal ini menunjukkan kapasitas sosial tinggi walaupun kepada kelompok agama lain yang dalam situasi normal di pandang musuh atau saingan, terlepas dari itu ini mekanisme ini akan meningkatkan rasa saling percaya di antara berbagai kelompok keagamaan yang ada. merupakan cerminan sosok pemimpin dan panutan.

Premis Pentingnya Mengedepankan Dialog 

Dialog dalam pergaulan multikultural yang melibatkan berbagai sekte, aliran maupun mazhab di suatu agama adalah mekanisme internal lain yang bisa terjadi dalam suatu agama yang mendukung pembinaan kedamaian. 

Seperti diketahui, secara internal kelompok agama manapun memiliki aliran, mazhab dan sekte masing-masing. Atas kenyataan itu maka bukan hanya konflik antar kelompok agama namun hal itu memungkinkan terjadinya gesekan sesama di dalam suatu kelompok agama. Misalnya antara pengikut paham garis keras dan garis lunak.

Dengan demikian, dialog dan pergaulan multikultural dapat menjadi solusi atas konflik itu, baik antar agama maupun konflik internal suatu agama yang merambat menjadi konflik sosial. 

Terlebih telah ada sosok yang menjadi panutan bagi agama-agama tertentu. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa mekanisme dialog adalah mengandalkan adanya dengan pertemuan diantara berbagai kelompok atau masing-masing kelompok aliran, melalui mediator yaitu sosok panutan diatas.

Premis mengedepankan Perubahan Stigma 

Seperti yang diketahui bahwa simbol agama terkadang digunakan untuk mendukung perang dan kekerasan. Akan tetapi, reinterpretasi terhadap teks juga dapat menciptakan etik dan spiritualitas baru yang menekankan hak-hak asasi manusia, toleransi, rekonsiliasi, kebebasan beragama, dan menghormati orang dari agama lain (yang dibedakan dari mendominasi). 
Sebagai contoh, dar al-islam, yang sering dipahami sebagai negara Islam,di tafsirkan kembali dan menjadi negeri perdamaian, rekonsiliasi, dan kebebasan beragama.

Demikian juga simbol agama lain yang digunakan dalam tujuan merusak tatanan kedamaian antara agama harus segera dilakukan pembenahan secara pemikiran maupun sikap. sehingga stigma buruk terkait agama-agama tertentu berubah dan tertanam pada benak masyrakat dan menjadi pemahaman publik.

Bilamana terdapat saran dan kritik bisa di tuliskan kedalam laman komentar. Terimakasih..



Terimakasih.

0 Response to "Premis-Premis Dalam Menjaga Kondisi Pluralitas Agama di Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel